ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB
ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB
PENGURUS AIR MINUM UNTUK KOTA SUCI MEKAH
DAN MADINAH (HARAMAIN)
PENGURUS AIR MINUM UNTUK KOTA SUCI MEKAH
DAN MADINAH (HARAMAIN)
Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri
ditimpa kekeringan yang sangat, keluarlah Amirul Mu’minin Umar bersama-sama
Kaum Muslimin ke lapangan terbuka, melakukan shalat istisqa’ (minta hujan), dan
berdu’a merendahkan diri kepada Allah yang Penyayang agar mengirimkan awan dan
menurunkan hujan kepada mereka ….
Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan
tangan kanannya, diangkatkannya ke arah langit sembari berkata: ”Ya
Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan perantaraan Nabi-Mu, pada masa
beliau masih berada di antara kami . . . . Ya Allah, sekarang kami meminta
hujan pula perantaraan paman Nabi-Mu, maka mohonlah kami diberi hujan … !”
Belum lagi sempat Kaum Muslimin meninggalkan tempat
mereka, datanglah awan tebal dan hujan lebat pun turunlah, mendatangkan
sukacita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para shahabat pun menemui Abbas,
memagut dan menciumnya Serta mengambil berkat dengannya sambil berkata:
”Selamat kami ucapkan untuk anda, wahai penyedia air minum Haramain
(Mekah – Madinah) … !”
Nah, siapakah dia penyedia air minum Haramain ini? Dan
siapakah orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah,
padahal. Umar sudah tak asing lagi bagi kita ketaqwaannya, kedahuluannya masuk
Islam, serta kedudukannya di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya serta di
sisi orang-orang beriman . . . ?
Ia adalah Abbas, paman Rasulullah saw. Rasul
memulyakannya sebagaimana ia pun mencintainya, juga memujinya dan
menyebut-nyebut kebaikan budi pekertinya, sabdanya:
“Inilah orang tuaku yang masih ada ……Inilah dia Abbas
bin Abdul Mutthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah … !
Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi dan Shahabatnya,
demikian pula halnya Abbas paman dan teman sebayanya, semoga Allah ridla
keduanya … !
Perbedaan umur antara keduanya hanya terpaut dua atau
.tiga tahun yakni lebih tua Abbas dari Rasulullah. Demikianlah, Muhammad saw
dan pamannya Abbas merupakan dua orang anak yang hampir sebaya dan dua orang
pemuda dari satu angkatan. Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan
yang menyebabkan keakraban dan terjalin persabatan yang intim antara keduanya,
tetapi persamaan umur tidak kurang berpengaruhnya.
Hal lain yang menyebabkan Nabi menempatkan Abbas di tempat
pertama, ialah karena akhlaq dan budi pekertinya. Abbas adalah seorang yang
pemurah, sangat pemurah, seolah-olah dialah paman atau bapak kepemurahan . . .
. Ia selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturrahmi dan kekeluargaan, dan
untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta . . . . Di
samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat genius
. . . . dan dengan kecerdasannya ini yang disokong oleh kedudukannya yang
tinggi di kalangan Quraisy, ia sanggup membela Rasul saw. dari bencana dan
kejahatan mereka, ketika beliau melahirkan da’wahnya secara terang-terangan.
Dalam pembicaraan kita tentang Hamzah terdahulu, kita
mengenal Hamzah yang selalu menentang kedurhakaan orang Quraisy dan kebiadaban
Abu Jahal dengan pedangnya yang arnpuh. Adapun Abbas, ia menentangnya dengan
kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfa’at bagi Islam sebagaimana halnya
senjata pedang yang bermanfa’at dalam membela haknya dan mempertahankannya … !
Maka Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali baru
pada tahun pembebasan kota Mekah, yang menyebabkan sebagian ahli sejarah
memandangnya tergolong kepada orang-orang yang belakangan masuk Islam, tetapi
riwayat-riwayat lain dalam sejarah memberitakannya termasuk orang-orang Islam
angkatan pertama, hanya Saja menyembunyikan keislamannya itu ….
Berkatalah Abu Rafi’ khadam Rasulullah saw.: “Aku
adalah anak suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul Mutthalib, dan waktu itu
Islam telah masuk kepada kami, ahli bait … keluarga Nabi … maka Abbas pun masuk
Islam begitu pula Ummul. Fadlal, dan aku pun juga masuk … hanya Abbas
menyembunyikan keislamannya . . . !” Inilah riwayat Abu Rafi’ yang menceritakan
keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum perang Badar Dan kalau begitu, waktu
itu Abbas telah menganut Islam….
Beradanya ia di Mekah sesudah Nabi dan
shahabat-shahabatnya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah direncanakan
dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaikbaiknya.
Orang-orang Quraisy pun tidak menyembunyikan keragu-raguan
mereka tentang hati kecil Abbas, tetapi mereka tak punya alasan untuk
memusuhinya, apalagi pada lahirnya tingkah laku dan agamanya tidaklah
bertentangan dengan kemauan mereka!
Hingga waktu datang perang Badar terbukalah kesempatan
bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati dan pendirian Abbas yang
sesungguhnya . . . . Sedang Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap
gerak-gerik dan tipu muslihat busuk yang direncanakan Quraisy dalam
melampiaskan kejengkelannya dan mengatur permufakatan jahat mereka ….
Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan
dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah orang Quraisy
pun berhasil memaksanya maju berperang, suatu perbuatan yang tidak disukai dan
dikehendakinya . . . ! Namun keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan
sementara, karena ternyata berbalik membawa kerugian dan kehancuran
mereka….Kedua golongan itu pun bertemulah di medan perang Badar . . . .
Pedang-pedang pun gemerincing beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan, yang
akan menentukan hidup mati dan akhir kesudahan kedua belah pihak ….
Rasulullah berseru di tengah-tengah para shahabatnya,
katanya: ”Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan
yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa pergi berperang, padahal sebenarnya
mereka tidak hendak memerangi kita . . . oleh sebab itu siapa di antara kamu
yang menemukannya, maka janganlah ia dibunuhnya . . ! Siapa yang bertemu dengan
Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah membunuhnya . . . ! Dan
siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutthalib, jangan membunuhnya karena
orangorang itu dipaksa untuk ikut berperang … !”
Dengan perintahnya ini tidak berarti Rasul hendak memberikan
keistimewaan kepada pamannya Abbas, karena tidak pada tempatnya dan bukan pula
pada waktunya! Dan bukanlah Muhammad saw. orangnya yang akan rela melihat
kepada para shahabatnya berjatuhan dalam pertempuran menegakkan yang haq, lalu
membela pamannya dengan memberinya hak-hak istimewa, di saat pertempuran
sedang berlangsung, seandainya diketahuinya bahwa pamannya itu orang musyrik ….
Benar . . . ! Rasul yang pernah dilarang Allah
memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib .. hanya semata-mata memintakan
ampun , sekalipun Abu Thalib banyak jasa dan pemberiannya terhadap Nabi Muhammad
saw. dan Islam berupa pembelaan dan pengurbanan . . . .
Tidaklah logis dan masuk akal jika ia akan mengatakan
kepada orang-orang yang bertempur di perang Badar memerangi bapak-bapak dan
sanak-sanak saudara mereka dari golongan musyrik: ”Kecualikan oleh kalian
dan jangan bunuh pamanku
Lain halnya kalau Rasul mengetahui pendirian pamannya
yang sebenarnya, dan ia tabu bahwa pamannya itu menyembunyikan keislamannya
dalam dadanya, sebagaimana diketahuinya pula jasa-jasanya yang tidak sedikit
serta pengabdian-pengabdiannya yang tak terlihat terhadap Islam . . . serta
diketahuinya pula belakangan, bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami
tekanan, maka waktu itu adalah kewajiban Nabi untuk melepaskan orang yang
mengalami nasib seperti ini dari marabahaya, dan melindungi darahnya selama
kemungkinan masih terbuka….
Seandainya Abu Bakhtari bin Harits (bukan sanak
keluarga Nabi) yang tidak dikenal menyembunyikan keislamannya, dan tidak pernah
pula membela Islam walaupun secara diam-diam sebagaimana dilakukan Abbas,
paling-paling kelebihannya hanya karena ia tak pernah ikut-ikutan dengan
pemimpin-pemimpin Quraisy menyakiti dan menganiaya Kaum Muslimin, dan tidak
menyukai tindakan mereka yang demikian, dan ia ikut dalam peperangan karena
dipaksa dan ditekan ….
Seandainya Abu Bakhtari hanya disebabkan hal-hal itu
telah berhasil mendapatkan syafa’at Rasulullah untuk dilindungi darahnya serta
nyawanya . . . maka apakah seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan
keislamannya . . . . dan laki-laki ini pembelaannya terhadap Islam dapat
dibuktikan secara nyata, sedang yang lainnya secara diam-diam dan tersembunyi .
. . apakah tidak lebih berhak dan lebih pantas untuk mendapatkan syafaat
tersebut . . . ? Benarlah demikian dan tidak salah! Sebenarnya Abbas adalah
orang Muslim dan pembela itu! Dan marilah kita kembali ke belakang sejenak
untuk meninjaunya!
Pada Bai’atul Aqabah Kedua, di mana sebanyak
tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita perutusan Anshar datang ke Mekah di musim
haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk
merundingkan hijrah Nabi saw. ke Madinah, waktu itulah Rasul menyampaikan
berita perutusan dan bai’at ini kepada pamannya karena Rasul sangat mempercayainya
dan memerlukan buah fikiran pamannya itu …
Tatkala tiba waktu berkumpul yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan rahasia, keluarlah Rasul bersama pamannya Abbas
ke tempat orang-orang Anshar menunggu.
Abbas ingin menyelidiki dan menguji golongan ini
sampai di mana kesetiaan mereka terhadap Nabi . . . . Marilah kita persilakan
salah seorang anggota perutusan itu untuk menceritakan kepada kita peristiwa
yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang itu. ialah Ka’ab bin Malik
r.a. demikian ceritanya:
“. . .. Kami telah duduk menanti kedatangan Rasul di
tengah jalan menuju bukit, hingga akhirnya beliau datang dan bersamanya Abbas
bin Abdul Mutthalib. Abbas pun angkat bicara katanya: “Wahai golongan Khazraj,
anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad saw. di sisi kami, kami telah
membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mempunyai kemuliaan dalam
kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka,
bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian . . . . Seandainya
kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya
dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul
tanggung jawab tersebut! Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan
dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian, lebih baik dari
sekarang kalian meninggalkannya … !”
Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam lagi keras
ini dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orangorang Anshar . . .
untuk mengikuti kesan kata-kata itu dan jawabannya yang segera ….
Dan ia tidak hanya sampai di situ saja. Kecerdasannya
yang tinggi adalah kecerdasan praktis yang dapat menjangkau jauh akan hakikat
sesuatu bidang kenyataan, dan menghadapi setiap perspektifnya sebagaimana
layaknya seorang yang mempunyai perhitungan dan pengalaman. Ketika itu
dimulainya pula percakapannya dengan mengemukakan pertanyaan cerdik, demikian:
“Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi
musuh-musuh anda . ‘ ‘? “
Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya terhadap
orangorang Quraisy Abbas telah dapat menyimpulkan bahwa peperangan tak
dapat tidak akan terjadi antara Islam dan kemusyrikan! Orang-orang
Quraisy tak hendak mundur dari agamanya, dari rasa keningratannya dan
keingkarannya, sedang Islam Agama yang tetap haq itu tak akan mengalah terhadap
yang bathil mengenai haq-haqnya yang telah disyari’atkan . . . . Nah, apakah
orang-orang Anshar ,,, penduduk’ Madinah akan tahan berperang waktu terjadi
nanti … ? Apakah mereka, dalam bidang seniyudha dapat menandingi orang:orang
Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Oleh karena inilah ia
mengemukakan pertanyaannya yang lalu sebagai pancingan: ”Coba gambarkan
kepadaku, bagaimana anda memerangi musuh-musuh anda … !”
Ternyata orang-orang Anshar yang mendengarkan
perkataan Abbas ini, adalah laki-laki yang teguh kukuh laksana gunung … ! Belum
sempat Abbas menyelesaikan bicaranya, terutama pertanyaan yang merangsang dan
menggairahkan itu orang-orang itu sudah mulai angkat bicara . . . . Abdullah
bin Amer bin Hiram mulai menjawab pertanyaan tersebut: “Demi Allah kami adalah
keluarga prajurit .. . yang telah makan asam garamnya medan laga, kami pusakai
dari nenek moyang kami turun-temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung
setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap coaling dan pemain
pedang, penebas setiap penghalang . . . !”
Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri: “Kalau
begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?” Jawab
mereka “Ada …. kami punya cukup banyak!” Kemudian terjadilah percakapan penting
dan menentukan antara Rasulullah saw. dan orang-orang Anshar . . , percakapan
yang insya Allah akan kami paparkan nanti dalam lembaran-lembaran yang akan
datang ….
Demikianlah peranan Abbas dalam Bai’atul Aqabah . . .
. Baginya sama saja apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam,
atau masih dalam berfikir, tapi jelas peranannya sangat penting dalam
menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan
malam dan kekuatan membawa cahaya terbit menuju terang benderangnya siang.
Dalam peristiwa itu terlihat pula kejantanannya seorang pahlawan dan
ketinggiannya seorang ilmuwan.
Pecahnya perang Hunain akan memperkuat bukti
keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini yang
diperlihatkannya di arena pertempuran, semacam kepahlawanan yang akan memenuhi
ruang dan masa, yakni sewaktu ia sangat diperlukan dan keadaan amat memerlukan,
sementara pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari
cahaya . . . !
Di tahun kedelapan hijrah, sesudah Allah membebaskan
negeri Mekah bagi Rasul dan Agamanya, sebagian kabilah yang berpengaruh di
jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat
dari Agama ini …. Maka bersatulah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar,
Jusyam dan lain-lain, lalu mengambil keputusan untuk melancarkan serangan
menentukan terhadap Rasulullah dan Kaum Muslimin. . . .
Dan janganlah kita terpedaya mendengar kata-kata
“kabilah”, sehingga terbayang pada kita corak peperangan-peperangan yang
diterjuni Rasul pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari
orang-orang gunung, yang dilancarkan kabilah-kabilah dari tempat-tempat
perlindungan mereka … !
Mengetahui hakikat kenyataan ini tidak Saja memberikan
kepada kita suatu penilaian yang teliti bagi usaha luar biasa yang dapat
memberikan ukuran yang sehat dan dipercaya tentang nilai kemenangan besar yang
telah dicapai oleh Islam dan orangorang yang beriman, dan suatu gambaran yang
jelas terhadap taufik Allah yang menonjol pada setiap kejayaan dan kemenangan
ini . . . !
Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam
barisan-barisan besar, terdiri dari para prajurit perang yang keras, ganas dan
ulet . . . . Kaum Muslimin tampil dengan jumlah kekuatan dua belas ribu orang.
Tentu anda akan bertanya . . . duabelas ribu orang . . . ? Ya benar, duabelas
ribu orang yang telah membebaskan Mekah dari kehidupan anarsis, kehidupan
syirik dan kekejaman, kehidupan penyembahan berhala dan penguburan anak
perempuan. Yang telah membebaskan Mekah dari orang-orang yang mengusir Nabi dan
ummat Islam, bahkan dari kaum yang mengejar-kejar Nabi dan ummat Islam sampai
Madinah.
Duabelas ribu orang yang telah mengibarkan panji-panji
Islam di angkasa Mekah di atas puing-puing berhala, dengan tidak setetes pun
darah tertumpah . . . !
Suatu kemenangan yang membangkitkan kesombongan bagi
sebagian Kaum Muslimin yang imannya masih lemah. Ya, bagaimana pun mereka
adalah manusia, karenanya mereka jadi lemah berhadapan dengan kemegahan yang
dibangkitkan oleh jumlah mereka yang banyak dan organisasi yang rapi serta
kemenangan mereka yang besar di Mekah, hingga keluarlah ucapan mereka:
”Sekarang, dengan jumlah sebanyak ini, kita tak mungkin dapat dikalahkan
lagi … !”
Karena segala peristiwa yang dialami Kaum Muslimin
pada masa hidup Pasulullah merupakan cermin sejarah, yang menjadi pendidikan
bagi umatnya yang hidup kemudian, maka peristiwa Hunain ini merupakan tonggak
sejarah yang perlu diperhatikan.
Suatu perjuangan suci tidak mungkin tercapai apabila
dicampuri niat riya dan sikap congkak, serta hanya didasarkan pada kekuatan
dan jumlah pasukan.
Dalam perang Hunain ini Allah memberikan pelajaran
pada mereka walau harus ditebus dengan pengurbanan yang besar.
Pelajaran itu berupa kekalahan besar yang mendadak di
awal peperangan ini, hingga setelah mereka berendah diri memohon kepada Allah,
ampunan dan melepaskan diri dari alam materi serta mendekatkan diri pada inayat
Ilahi, meninggalkan ketergantungan kekuatan hanya atas pasukan, lalu
mengandalkan kekuatan Allah, barulah kekalahan mereka berbalik jadi kemenangan,
dan turunlah ayat al-Quranul Karim memperingatkan Kaum Muslimin:
dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa
bangga dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berguna
sedikit pun bagi kalian hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, lalu
kalian berpaling melarikan diri . . . !” Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya
kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan diturunkannya
balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksa-Nya orang-orang kafir! Dan
itulah memang balasan bagi orang kafir … !” (Q.S. 9 at-
Taubat: 25 — 26)
Waktu itu suara Abbas dan keteguhan hatinya merupakan
tanda-tanda sakinah dan keberanian mempertaruhkan nyawa yang lebih gemilang . .
. . Maka Sewaktu orang Islam sedang berkumpul menyusun kekuatan di salah satu
lembah Tihamah sambil menanti-nanti kedatangan musuh, sebenarnya orang-orang
musyrik telah mendahului mereka ke lembah dan bersembunyi di parit-parit dan di
tepi-tepi jalan bukit, siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.
Ketika Kaum Muslimin sedang lengah itu mereka menyerbu
dan melakukan sergapan secara mendadak dan membingungkan, menyebabkan Kaum
Muslimin sama melarikan diri sejauh-jauhnya hingga tak sempat menoleh ke kiri
dan kanan, Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan mendadak itu terhadap
Kaum Muslimin. Beliau naik ke atas punggung kuda begalnya yang putih, lalu
berseru dengan suara keras: “Hendak ke mana kalian . . . ? Marilah kepadaku ..
. aku adalah Nabi, tidak pernah bohong . . . aku anak Abdul Mutthalib … !” Di
keliling Nabi waktu itu hanya tinggal Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib,
Abbas bin Abdul Mutthalib bersama anaknya Fadlal bin Abbas, Ja’far bin Harits,
Pabi’ah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa shahabat
lainnya yang tak banyak jumlahnya.
Ada lagi di sans seorang perempuan yang beroleh
kedudukan tinggi di antara laki-laki dan para pahlawan …. namanya Ummu Sulaim
binti Milhan …. Perempuan ini telah melihat kebingungan Kaum-Muslimin
dan keadaan mereka yang kacau balau, maka segera ia menunggangi unta suaminya
Abu Thalhah r.a. dan terus menghentak unta itu ke arah Rasul ….Sewaktu janin
yang ada dalam perutnya bergerak, — karena waktu itu ia sedang hamil —
dibukanya selendangnya lalu dibebatkannya ke perutnya dengan ikatan yang cukup
kuat. Sewaktu ia sampai ke dekat Nabi saw. dengan khanjar terhunus di tangan
kanannya, Rasul menyambutnya dengan tersenyum, katanya: “Ummu Sulaim? Jawabnya:
“Benar . . . demi bapakku dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah … !
Bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka
yang memerangi anda; mereka patut mendapatkannya . . . !” Maka semakin
bercahayalah senyuman di muka Rasul yang percaya sepenuhnya akan janji
Tuhannya, lalu katanya: “Sesungguhnya Allah telah cukup — jadi pelindung — dan
jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim … !”
Sewaktu Rasulullah dalam kedudukan demikian, Abbas
berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya,
menghadang maut dan bahaya . . . . Nabi memerintahkan untuk memanggil orang
banyak, karena Abbas mempunyai suara lantang, maka berserulah ia: — “Hai
golongan Anshar . . . wahai pemegang bai’at . . . !” Maka seolah-olah suaranya
itu suara kadar dan jurubicaranya jua …. Karena demi mereka yang ketakutan
karena serangan mendadak ini dan yang kacau balau di dalam lembah itu,
mendengar suara panggilan tersebut, mereka menjawabnya serentak: “Labbaika Labbaika,
kami segera datang, ini kami datang … !
Allah menurunkan sakinah dan mengembalikan keberanian
dan semangat tempur Kaum Muslimin dengan perantaraan suara Abbas dan sikap
kepahlawanannya. Mereka berbalik kembali laksana angin kencang, sampai-sampai
karena unta atau kudanya membandel, mereka melompat turun lari maju, sambil
membawa baju besi, pedang dan panahnya menuju arah suara Abbas . . . Maka
pertempuran berlangsung lagi dengan garang dan kejamnya. Rasulullah berseru:
“Sekarang peperangan memuncak panas . . . !” Benar, perang menjadi panas . . .
! Dan berangsur-angsur korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan, pasukan
berkuda Allah telah mengalahkan angkatan berkuda lata, dan Allah menurunkan
sakinahnya kepada Rasul dan orang-orang Mu’min …
Rasulullah amat mencintai Abbas, sampai beliau tidak
dapat tidur sewaktu berakhirnya perang Badar, karena pamannya pada malam itu
tidur bersama tawanan yang lain . . . . Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya
ini, sewaktu ditanyakan kepadanya, sebabnya. . . beliau tidak dapat tidur
padahal Allah telah memberikan pertolongan sebesar-besarnya, beliau menjawab:
“Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam belenggunya…
Salah seorang di antara Muslimin mendengar kata-kata
Rasul tersebut, lalu segera pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan
belenggu Abbas. Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah, katanya:
”Ya Rasulallah aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit!”
Tetapi kenapa hanya Abbas saja ? Ketika itu Rasul
memerintahkan kepada shahabatnya itu: “Ayuh pergilah, lakukanlah seperti itu
terhadap semua tahanan … !”
Benar, kecintaan Nabi kepada pamannya tidak dimaksudkannya
untuk memperbedakannya dari manusia lain yang mengalami keadaan yang sama!
Dan tatkala musyawarah menetapkan membebaskan tawanan
dengan jalan menerima tebusan, berkatalah Rasul kepada pamannya: “Wahai Abbas
. . . , tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Abi Thalib, Naufal bin
Harits, dan teman karibmu ‘Utbah bin Amar saudara Bani Harits bin Fihir, sebab
kamu banyak harta!”
Mulanya Abbas bermaksud hendak membebaskan dirinya
tanpa membayar uang tebusan, katanya: ”Hai Rasulullah, sebenarnya aku’kan
sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku . . . !” Tetapi Rasul saw.
terus mendesaknya agar membayarnya, dan berkenaan dengan peristiwa
ini turunlah ayat al-Quranul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tawanan yang ada dalam
tanganmu: Jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti, la akan
mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia
mengampuni kalian, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang …
!” (Q.S. 8 A-Anfal:
70)
Demikianlah Abbas menebus dirinya dan orang-orang bersamanya
dan pulang kembali ke Mekah … dan setelah itu jalan fikiran dan keimanan Abbas
tidak dapat disembunyikan lagi pada orang Quraisy. Tak lama kemudian
dikumpulkannya hartanya dan dibawanya barang-barangnya lalu terus menyusul
Rasul ke Khaibar, untuk ikut mengambil bagian dalam rombongan angkatan Islam
dan kafilah orang-orang beriman …. Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh Kaum
Muslimin, terutama karena melihat Rasul sendiri memuliakan Serta mencintainya,
begitupun mendengar ucapan Rasul terhadapnya:
“Abbas adalah saudara kandung ayahku ….
Maka siapa yang menyakiti Abbas tak ubahnya menyakitiku!”
Abbas meninggalkan keturunannya yang diberkati;
Abdullah bin Abbas mutiara ummat dengan pengertian alim, ‘abid dan shaleh,
adalah salah seorang anak yang diberkati Nabi.
Pada hari Jum’at tanggal 14 bulan Rajab tahun 32
Hijrah. penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengar peng umuman: “Rahmat
Allah bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Mutthalib!”
Mereka mendapati Abbas telah meninggal ….. Amat banyak
sekali orang mengiringkan jenazahnya, belum pernah terjadi selama ini sebanyak
itu. Jenazahnya dishalatkan oleh khalifah Muslimin pada waktu itu, yakni Utsman
bin Affan r.a. Di bawah tanah Baqi’ beristirahatlah dengan tenang tubuh Abul
Fadlal . . . . la tidur nyenyak dengan hati puas, di lingkungan orang baik-baik
yang telah sama-sama memenuhi janji mereka kepada Allah
0 komentar:
Posting Komentar