SHUHAIB BIN SINAN
SHUHAIB
BIN SINAN
ABU YAHYA PEDAGANG YANG SELALU MENDAPAT LABA
ABU YAHYA PEDAGANG YANG SELALU MENDAPAT LABA
Ia dilahirkan dalam lingkungan
kesenangan dan kemewahan . . . . Bapaknya menjadi hakim dan walikota “Ubullah”
sebagai pejabat yang diangkat oleh Kisra atau maharaja Persi. Mereka adalah
orang-orang Arab yang pindah ke Irak, jauh sebelum datangnya Agama Islam. Dan
di istananya yang terletak di pinggir sungai Efrat ke arah hilir “Jazirah” dan
“Mosul”, anak itu hidup dalam keadaan senang dan bahagia ….
Pada suatu ketika, negeri itu
menjadi sasaran orang-orang Romawi yang datang menyerbu dan menawan sejumlah
penduduk, termasuk di antaranya Shuhaib bin Sinan …. Ia diperjual belikan
oleh saudagar-saudagar budak belian, dan perkelanaannya yang panjang berakhir
di kota Mekah, yakni setelah menghabiskan masa kanak-kanak dan permulaan masa
remajanya di negeri Romawi, hingga lidah dan dialeknya telah menjadi lidah dan
dialek Romawi.
Majikannya tertarik akan kecerdasan,
kerajinan dan kejujurannya, hingga Shuhaib dibebaskan dan dimerdekakannya, dan
diberinya kesempatan untuk dapat berniaga bersamanya.
Maka pada suatu hari . . . , yah,
marilah kita dengarkan cerita kawannya yang bernama. ‘Ammar bin Yasir,
mengisahkan peristiwa yang terjadi pada hari itu:
“Saya berjumpa dengan Shuhaib bin
Sinan di muka pintu rumah Arqam, yakni ketika Rasulullah saw. sedang berada di
dalamnya.
— Hendak ke mana kamu? tanya
saya kepadanya.
— Dan, kamu hendak ke mana? jawabnya.
— Dan, kamu hendak ke mana? jawabnya.
Saya hendak menjumpai Muhammad saw.
untuk menjelaskan tentang aqidah Agama Islam kepada kami, setelah kami meresapi
apa yang dikemukakannya kami pun menja pemeluknya. Kami tinggal di sana sampai
petang hari. Lalu dengan sembunyi-sembunyi kami keluar meninggalkannya…
Jadi Shuhaib telah tabu jalan ke
rumah Arqam …. Artinya ia telah mengetahui jalan menuju petunjuk dan cahaya,
juga ke arah pengurbanan berat dan tebusan besar …
Maka melewati pintu kayu yang
memisah bagian dalam rumah Arqam dari bagian luarnya, tidak hanya berarti
melangkah bandul pintu semata …. tetapi hakikatnya adalah melangkah batas-batas
alam secara keseluruhan … ! Yakni alam lama dengan segala apa yang diwakilinya
baik berupa keagamaan dan akhlaq, maupun berupa peraturan yang harus
dilangkahinya menuju alam baru dengan segala aspek dan persoalannya ….
Melangkahi bandul pintu rumah Arqam
yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki, pada hakekat dan kenyataannya adalah
melangkahi bahaya besar luas dan lebar.
Maka menghampiri rintangan itu —
maksud kita bandul tersebut,
— mema’lumkan datangnya suatu masa
yang penuh dengan tanggung jawab yang tidak enteng … !
Apalagi bagi fakir miskin, budak belian dan orang peranta memasuki rumah Arqam itu artinya tidak lain dari suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia.
Apalagi bagi fakir miskin, budak belian dan orang peranta memasuki rumah Arqam itu artinya tidak lain dari suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia.
Shahabat kita Shuhaib adalah anak
pendatang atau orang perantau, sedang shahabat yang berjumpa dengannya di
ambang pintu rumah tadi — yakni ‘Ammar bin Yasir — adalah seorang miskin . . .
. Tetapi kenapa keduanya itu berani menghadapi bahaya, dan kenapa mereka
bersiap sedia untuk menemuinya … ?
Nah, itulah dia panggilan iman yang
tak dapat dibendung … ! Dan itulah dia pengaruh kepribadian Muhammad saw., yang
kesan-kesannya telah mengisi hati orang-orang baik dengan hidayah dan kasih
sayang … ! Dan itulah dia daya pesona dari barang baru yang bersinar cemerlang,
yang telah memukau akal fikiran yang muak melihat kebasian barang lama, bosan dengan
kesesatan dan kepalsuannya . . .!
Dan di atas semua ini, itulah rahmat
dari Allah Ta’ala yang dilimpahkan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, serta petunjuk-Nya yang diberikan kepada orang yang kembali
dan menyerahkan diri kepada-Nya.
Shuhaib telah menggabungkan dirinya
dengan kafilah orangorang beriman. Bahkan ia telah membuat tempat yang luas
dan tinggi dalam barisan orang-orang yang teraniaya dan tersiksa! Begitu pula
dalam barisan para dermawan dan penanggung uang tebusan … !
Pernah diceritakan keadaan
sebenarnya yang membuktikan rasa tanggung jawabnya yang besar sebagai seorang
Muslim yang telah bai’at kepada Rasulullah dan bernaung di bawah panji-panji
Agama Islam, katanya:
“Tiada suatu perjuangan bersenjata
yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku menyertainya ….
Dan tiada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku menghadirinya ….
Dan tiada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya kecuali aku termasuk sebagai anggota rombongannya ….
Dan tidak pernah belian bertempur baik di masa-masa perrtama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau di sebelah kirinya ….
Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian Pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang ….Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah saw. berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah . . ..”
Dan tiada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku menghadirinya ….
Dan tiada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya kecuali aku termasuk sebagai anggota rombongannya ….
Dan tidak pernah belian bertempur baik di masa-masa perrtama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau di sebelah kirinya ….
Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian Pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang ….Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah saw. berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah . . ..”
Suatu gambaran keimanan yang
istimewa dan kecintaan yang luar biasa ….
Sungguh, Shuhaib semoga Allah meridlainya dan meridlai
Sungguh, Shuhaib semoga Allah meridlainya dan meridlai
semua shahabatnya layak untuk
mendapatkan keunggulan iman ini, semenjak ia menerima cahaya Ilahi dan menaruh
tangan kanannya di tangan kanan Rasulullah saw. Mulai saat itu hubungannya
dengan dunia dan sesama manusia, bahkan dengan dirinya pribadi mendapatkan
corak baru. Jiwanya telah tertempa .menjadi keras dan ulet, zuhud tak kenal
lelah, hingga dengan bekal tersebut ia berhasil mengatasi segala macam
peristiwa dan menjinakkan marabahaya ….
Dan sebagai telah kita kemukakan
dulu, ia selalu menghadapi segala akibat dan risiko dengan keberanian luar
biasa. la tak hendak mundur dari segala pertempuran atau mengucilkan diri dari
bahaya, sedang kegemarannya dialihkannya dari menumpuk keuntungan kepada
memikul tanggung jawab, dari meni’mati kehidupan kepada mengarungi bahaya dan
mencintai maut ….
Hari-hari perjuangannya yang mulia
dan cintanya yang luhur itu diawali pada saat hijrahnya. Pada hari itu
ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai
hasil perniagaan selama berbilang tahun di Mekah. Semua kekayaan ini, yakni
segala yang dimilikinya, dilepaskan dalam sekejap saat tanpa berfikir panjang
atau mundur maju.
Ketika Rasulullah hendak pergi
hijrah, Shuhaib mengetahuinya, dan menurut rencana ia akan menjadi orang
ketiga dalam hijrah tersebut, di samping Rasulullah dan Abu Bakar …. Tetapi
orang-orang Quraisy telah mengatur persiapan di malam harinya untuk mencegah
kepindahan Rasulullah.
Shuhaib terjebak dalam salah satu
perangkap mereka, hingga terhalang untuk hijrah untuk sementara waktu,
sementara Rasulullah dengan shahabatnya berhasil meloloskan diri atas barkah
Allah Ta’ala.
Shuhaib berusaha menolak tuduhan
Quraisy dengan jalan bersilat lidah, hingga ketika mereka lengah ia naik ke
punggung untanya, lalu dipacunya hewan itu dengan sekencang-kencangnya menuju
Sahara luas . . . . Tetapi Quraisy mengirim pemburu-pemburu mereka untuk
menyusulnya dan usaha itu hampir berhasil. Tapi demi Shuhaib melihat dan
berhadapan dengan mereka ia berseru katanya:
“Hai orang-orang Quraisy!
Kalian sama mengetahui bahwa saya
adalah ahli panah yang paling mahir . . . . Demi Allah, kalian takkan berhasil
mendekati diriku, sebelum saya lepaskan semua anak panah yang berada dalam
kantong ini, dan setelah itu akan menggunakan pedang untuk menebas kalian,
sampai senjata di tanganku habis semua!
Nah, majulah ke sini kalau kalian
berani …
Tetapi kalau kalian setuju, saya
akan tunjukkan tempat penyimpanan harta bendaku, asal saja kalian membiarkan
daku … !
Mereka sama tertarik dengan tawaran
terakhir itu, dan setuju menerima hartanya sebagai
imbalan dirinya, kata mereka: “Memang, dahulu waktu kamu datang kepada kami,
kamu adalah seorang miskin lagi papa. Sekarang hartamu menjadi banyak di
tengah-tengah kami hingga melimpah ruah. Lalu kami hendak membawa pergi
bersamamu semua harta kekayaan itu … ? “
Shuhaib menunjukkan tempat
disembunyikan hartanya itu, hingga mereka membiarkannya pergi sedang mereka
kembali ke Mekah. Dan suatu hal yang aneh ialah bahwa mereka mempercayai ucapan
Shuhaib tanpa bimbang atau bersikap waspada, hingga mereka tidak meminta suatu
bukti, bahkan tidak meminta agar ia mengucapkan sumpah … !
Kenyataan ini menunjukkan tingginya
kedudukan Shuhaib di mata mereka, sebagai orang yang jujur dan dapat dipercaya
Shuhaib melanjutkan lagi perjalanan
hijrahnya seorang diri tetapi berbahagia, hingga akhirnya berhasil menyusul
Rasulullah saw. di Quba. Waktu itu Rasulullah sedang duduk dikelilingi oleh
beberapa orang shahabat, ketika dengan tidak diduga Shuhaib mengucapkan
salamnya. Dan demi Rasulullah melihatnya, beliau berseru dengan gembira:
“Beruntung perdaganganmu, hat Abu
Yahya! Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya!”
Dan letika itu juga turunlah ayat:
Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha penyantun terhadap hamba-hambaNya!
(Q.S.2 al-Baqarah:207)
Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha penyantun terhadap hamba-hambaNya!
(Q.S.2 al-Baqarah:207)
Memang, Shuhaib telah menebus
dirinya yang beriman itu dengan segala harta kekayaan, ia mengumpulkan harta
kekayaan itu dengan menghabiskan masa mudanya, yakni seluruh usia mudanya ….
dan sedikit pun ia tidak merasa dirinya rugi!
Apa artinya harta, emas, perak dan
seluruh dunia ini, asal imannya tidak terganggu, hati nuraninya berkuasa dan
kemauannya menjadi raja!
la amat disayangi oleh Rasulullah
saw. Dan di samping keshalihan dan ketaqwaannya, Shuhaib adalah seorang periang
dan jenaka. Pada suatu hari Rasulullah melihat Shuhaib sedang makan kurma dan
salah satu matanya bengkak. Tanya Rasulullah kepadanya sambil tertawa:
“Kenapa kamu makan kurma sedang
sebelah matamu bengkak?”
“Apa salahnya?” ujar Shuhaib; saya memakannya dengan mata yang sebelah lagi … ?
“Apa salahnya?” ujar Shuhaib; saya memakannya dengan mata yang sebelah lagi … ?
Shuhaib adalah pula seorang pemurah
dan dermawan. Tunjangan yang diperolehnya dari Baitul mal dibelanjakan
semuanya di jalan Allah, yakni untuk membantu orang yang kemalangan dan
menolong fakir miskin dalam kesengsaraan, memenuhi firman Allah Ta’ala:
Dan diberihannya makanan yang
disukainva kepada orang miskin, anah yatim dan orang tawanan 11 .
(Q.S.76 ad-Dahr:8)
(Q.S.76 ad-Dahr:8)
Sampai-sampai kemurahannya yang amat
sangat itu mengundang peringatan dari Umar, katanya kepada Shuhaib:
“Saya lihat kamu banyak sekali
mendermakan makanan hingga melewati batas … ! “
Jawab Shuhaib: “Sebab saya pernah
mendengar Rasulullah bersabda:
Sebaik-baik kaftan ialah yang sutra memberi makanan.”
Sebaik-baik kaftan ialah yang sutra memberi makanan.”
Dan setelah diketahui kehidupan
Shuhaib berlimpah ruah dengan keutamaan dan kebesaran, maka dipilihnya oleh
Umar bin Khatthab untuk menjadi imam bagi Kaum Muslimin dalam shalat mereka,
merupakan suatu keistimewaan dan kecemerlangan ….
Tatkala Amirul Mu’minin diserang
orang sewaktu melakukan shalat shubuh bersama Kaum Muslimin . . . , maka
disampaikannyalah pesan dan kata-kata akhirnya kepada para shahabat,
katanya: “Hendaklah Shuhaib menjadi imam Kaum Muslimin dalam shalat … ! “
Ketika itu Umar telah memilih enam
orang shahabat yang diberi tugas untuk mengurus pemilihan khalifah baru. Dan
khalifah Kaum Musliminlah yang biasanya menjadi imam dalam shalat-shalat
mereka. Maka siapakah yang akan bertindak sebagai imam dalam saat-saat vakum
antara wafatnya Amirul Mu’minin dan terpilihnya khalifah baru itu?
Tentulah Umar, apalagi dalam
saat-saat seperti itu, ya’ni ketika ruhnya yang suci hendak berangkat menghadap
Allah, akan berfikir seribu kah sebelum menjatuhkan pilihannya. Maka kalau ia
telah memutuskan pilihannya, tentulah tak ada orang yang lebih beruntung dan
memenuhi syarat dari orang yang dipilihnya itu.
Dan Umar telah memilih Shuhaib ….
Dipilihnya untuk menjadi imam untuk Kaum Muslimin menunggu munculnya khalifah barn yang akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dan ketika ia memilihnya, bukan tidak tabu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing. Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah terhadap hamba-Nya yang shalih, Shuhaib bin Sinan ….
Dipilihnya untuk menjadi imam untuk Kaum Muslimin menunggu munculnya khalifah barn yang akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dan ketika ia memilihnya, bukan tidak tabu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing. Maka peristiwa ini merupakan kesempurnaan karunia Allah terhadap hamba-Nya yang shalih, Shuhaib bin Sinan ….
0 komentar:
Posting Komentar