ZAID BIN HARITSAH
ZAID
BIN HARITSAH
TAK ADA ORANG YANG LEBIH DICINTAINYA DARIPADA RASULULLAH
TAK ADA ORANG YANG LEBIH DICINTAINYA DARIPADA RASULULLAH
Rasulullah
saw. berdiri melepas balatentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang
Muktah, melawan orangorang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan
memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya: “Kalian semua
berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan
diambil alih oleh Jafar bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas Pula, maka
komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah”.
Siapakah
Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? siapakah pribadi yang bergelar
“Pencinta Rasulullah itu?” tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan
kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang
dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan
besar.
Sudah
lama sekali Su’da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya
di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi
menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya
ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu.
Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah.
Di waktu ia akan menitipikam isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang
akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas
pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh,
menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan
gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya
meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan
selamat jalan bagi putera dan isterinya ….
Demikianlah,
ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku
di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan
hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. la hanyut
dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah
beberapa lama Su’da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an,
hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok
badui yang menggerayangi desa tersebut.
Kampung
itu habis porak poranda, karena tak dapat mempertahankan diri. Semua
milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para
perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan
perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi
Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan
tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung
diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang
lewat, kalaukalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya
“Zaid”. Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur
diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:
“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa
yang telah terjadi,
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau
telah mati? Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah
di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa? Di kala matahari terbit ku
terkenang padanya.
Bila
surya terbenam ingatan kembali menjelma. tiupan angin yang membangkitkan
kerinduan pula,
Wahai,
alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana
Perbudakan
sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi
masyarakat pada zaman itu. Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota
Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab
sendiri.
Syandan
di kala kabilah perampok yang menyerang desa, Bani Ma’an berhasil dengan
rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil
rampokannya ke pasar ‘Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid
dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia memberikannya kepada
bibinya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah radliyallahu ‘anha telah menjadi
isteri Muhammad bin Abdillah (sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya
wahyu yang pertama). Sementara pribadinya yang agung, telah memperlihatkan
segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak
dapat diangkat-Nya sebagai Rasul-Nya.
Selanjutnya
Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau
menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dari
pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan
segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak, sendiri.
Pada
salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa
dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya.
Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua
orang tuanya. Katanya kepada para hujjaj atau jemaah haji itu, tolong beritakan
kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang
paling mulia.
Begitu
ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke
Mekah, bersama seorang saudaranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana
rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad
saw., Haritsah berkata: “Wahai Ibnu Abdil Mutthalib . .. , wahai putera dari
pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskari
orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan … Kami datang ini
kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu
kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”
Rasulullah
sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut ‘ kepadanya,
tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata
Nabi kepada
“Panggillah
Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda, maka
akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku,
maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang
yang telah memilihku!”
Mendengar
ucapan Muhammad saw. yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan,
karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya:
“Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik
kesadaran itu!”
Kemudian
Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau
langsung bertanya: “Tahukah engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu”, jawab
Zaid, “Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku”.
Kemudian
Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu
tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa
berfikir panjang, Zaid menjawab: “Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah
ayah, dan andalah pamanku!”
Mendengar
itu, kedua mata Rasul basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lalu
dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang
Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya:
“Saksikan
oleh kalian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku . . . yang akan
menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya “.
Mendengar
itu hati Haritsah seakan-akan berada di awangawang karena sukacitanya, sebab
ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanph tebusan,
malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku
Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”, — Orang lurus
Terpercaya —, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka
kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram,
meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman
sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling
di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah
telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah ia di
seluruh Mekah dengan nama
“Zaid
bin Muhammad” … .
Di
suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada sayidina
Muhammad:
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan! Ia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang
telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang
tidak diketahuinya.
(Q.S.
96 al-’Alaq; 1 — 5) Kemudian
susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul dengan kalimatnya:
Wahai
orang yang berselimut! Bangunlah (siapkan diri), sampaikan peringatan (ajaran
Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir- 1 — 3)
Wahai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu! Dan jika tidak
kamu laksanakan, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan
melindungimu dari (kejahatan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang kafir.
(Q.S.
5 al-Maidah: 67)
Maka
tak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu,
jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam . . . , bahkan ada yang
mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul
sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar,
disebabkan kejujurannya yang tak ada tandingannya, kebesaran jiwanya,
kelembutan dan kesucian hatinya, disertai terpelihara lidah dan tangannya.
Semuanya
itu atau yang lebih dari itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri
sebagai “Zaid Kesayangan” sebagaimana yang telah dipanggilkan
shahabat-shahabat Rasul kepadanya. Berkatalah Saiyidah Aisyah r.a.: “Setiap
Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang
selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul,
tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!”
Sampai
ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya
Zaid ini?
Ia
sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan,
diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang
laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek
tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Dan
karena itulah ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati
Rasulullah saw. Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan gelar
kebangsawanan dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan
predikat-predikat lahiriahnya, Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah
cemerlangnya nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, ‘Ammar, Khabbab, Usamah dan
Zaid. Mereka semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang
shaleh maupun sebagai pahlawan perang.
Dengan
tandas Islam telah mengumandangkan dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang
nilai-nilai hidup:
“Sesungguhnya
semulia-mulia kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa!” (Q.S. 49 al-Hujurat: 13)
Islamlah
Agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat
yang baik dan cara hidup Yang suci, jujur dan direstui Allah ….
Rasulullah
saw. menikahkan Zaid dengan Zainab anak bibinya. Ternyata kemudian kesediaan
Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak
anjuran dan syafa’at Rasulullah, dan karena tak sampai hati menyatakan enggan
terhadap Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka yang tak
dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yang kuat yaitu cinta yang
ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan perceraian. Maka
Rasulullah saw. mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid yang telah
pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian
mencarikan isteri baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum
binti ‘Uqbah.
Disebabkan
peristiwa tersebut diatas terjadi kegoncangan dalam masyarakat kota Madinah.
Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?
Tantangan
dan kecaman ini dijawab Allah dengan wahyuNya, yang membedakan antara anak
angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus
membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu
berbunyi sebagai berikut:
Muhammad
bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bernama) kalian. Tetapi ia
adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (Q.S. 33
a]-Ahzab: 40)
Dengan
demikian kembali Zaid dipanggil dengan namanya semula “Zaid bin Haritsah”.
Dan
sekarang ….
Tahukah
anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh”
komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang
bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish, al-Hismi dan lainnya,
panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah sebagaimana yang
pernah kita dengar dari Ummil Mu’minin ‘Aisyah r.a. tadi: .”Setiap Nabi
mengirimkan Zaid . dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi
pemimpinnya!”
Akhirnya
datanglah perang Muktah yang terkenal itu …. Adapun orang-orang Romawi dengan
kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut
terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat
mengancam keselamatan dan wujud mereka. Terutama di daerah jajahan mereka Syam
(Syria) yang berbatasan dengan negara dari Agama baru ini, yang senantiasa
bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman
penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai
batu loncatan untuk menaklukkan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik
orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan
Islam dapat tercium oleh Nabi. sebagai seorang ahli strategi, Nabi memutuskan
untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah
sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.
Demikianlah,
pada bulan Jumadil Ula, tahun yang kedelapan Hijrah. tentara Islam maju
bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka
dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan
juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara
Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedang lasykar
Islam mengambil posisi. di dekat suatu negeri kecil yang bernama Muktah, yang
jadi nama pertempuran ini sendiri.
Rasulullah
saw. mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Olen sebab itu
beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam
bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi, sedang di Siang hari sebagai -pendekar
pejuang pembela Agama. tiga orang pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga
mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita
mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata
ridla Ilahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ….
Mereka
yang bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin
Haritsah, kedua Ja’far bin Abi Thalib dan ketiga ‘Abdullah bin Rawahah,
moga-moga Allah ridla kepada mereka dan menjadikan mereka ridla
kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh shahabat-shahabat yang lain ….
Begitulah
apa yang kita saksikan di permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul
berdiri di hadapan pasukan tentara, Islam yang hendak berangkat itu. Rasul
melepas mereka dengan amanat: “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah
sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi
Thalib, dan seandainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh ‘Abdullah
bin Rawahah!”
Sekalipun
Ja’far bin Abi Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi
hubungan keluarga, sebagai anak, pamannya sendiri . . . . Sekalipun keberanian
ketangkasannya tak diragukan lagi, kebangsawanan dan turunannya begitu pula,
namun ia hanya sebagai orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti,
sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama pasukan.
Beginilah
contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip.
Bahwa Islam sebagai suatu Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang
didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang, bathil dan
rasialisme, menggantinya dengan hubungan baru yang dipimpin oleh hidayah Ilahi
yang berpokok kepada hakekat kemanusiaan ….
Dan
seolah-olah Rasul telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan
berlangsung, beliau mengatur dan me netapkan susunan panglimanya dengan tertib
berurutan: Zaid, lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka
menemui Tuhannya sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula!
Demi
Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak
kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali,
mereka terkejut. Tetapi kapankah pertempuran yang didasari iman
mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika
itulah … di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak
menghiraukan besarnya musuh . . . . Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya
mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji
Rasulullah saw. maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak
panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya sernata-mata mencari
kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan
Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya:
Sesungguhnya
Allah telah membeli jiwa dan harta orangorang Mu min dengan surga sebagai
imbalannya.
(Q.S.
9 at-Taubah: 111)
Zaid
tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi,
tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang
hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa
itulah hari istirahat dan kemenangannya.
la
telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh.
Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu
dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang
kekal di sisi Allah ….
Ia
telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam
perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus
sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya
semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua
Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk
menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah ….
0 komentar:
Posting Komentar